Perceraian telah menjadi fenomena di masyarakat perkotaan akhir-akhir ini.
Pemberitaan di media semakin diramaikan dengan cerita tragis pernikahan
publik figur atau selebritis ternama negeri ini yang berakhir dengan
perceraian.
Dulu perceraian sesuatu hal yang dianggap tabu dan menjadi momok menakutkan rumah tangga, kini sepertinya sudah menjadi hal yang dianggap wajar dan biasa.
Apakah cara pandang atau persepsi tentang pernikahan sebagai sesuatu
yang sakral dan abadi telah mengalami pergeseran nilai? Pernikahan yang
baik seolah menjadi sesuatu yang langka ditemukan dikehidupan masyarakat
moderen. Seiring dengan itu, daya juang mempertahankan pernikahan kini semakin menurun. Hal ini dapat dilihat dari angka perceraian yang meningkat setiap tahunnya.
Sesuai data statistik dari Badan Penasehat Pembinaan Dan Pelestarian Keluarga menunjukkan, bahwa angka perceraian di Indonesia mencapai 35-50 persen dari jumlah perkawinan per tahun.
Perceraian seringkali terjadi akibat faktor ekonomi, dan ketidakcocokan individu dalam perjalanan rumahtangganya.
Perceraian dianggap sebagai salah satu pilihan cepat yang ditempuh
banyak pasangan setelah merasa terjebak dalam situasi yang dirasa kian
menjemukan. Sudah tidak ditemukannya lagi sesuatu yang dicari dari pasangannya seperti yang diharapkan sebelum menikah. Persepsi yang telah berubah dan harapan yang tidak terpenuhi pun turut mendorong keinginan untuk bercerai.
Dahulu mengambil keputusan untuk bercerai merupakan sesuatu yang amat
sulit dilakukan. Faktor utamanya selain rasa malu pada masyarakat, juga faktor ekonomi, dimana tingkat ketergantungan finansial perempuan kepada suaminya amat tinggi.
Akan tetapi pada saat ini, karena dipengaruhi arus informasi yang begitu deras dan kondisi kemapanan perempuan secara finansial mulai naik, perubahan sosial pun terjadi. Dalam ide teori pertukaran sosial dikatakan bahwa dalam setiap hubungan, seseorang akan melihat keuntungan yang akan diperoleh, mengukur tingkat untung rugi dalam suatu hubungan yang melibatkan proses take and give.
Ketika kemudian pengukuran itu tidak dianggap rasional, bahwa yang diberikan tidak seimbang dengan apa yang didapat, orang akan cenderung mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan dengan cara bercerai. Untuk menjaga keharmonisan keluarga maka jangan sekali-kali kita dalam keluarga selalu memperhitungkan untung rugi.
Fenomena perceraian ini
banyak terjadi akibat dari suami atau isteri yang ketika menghadapi
masalah yang tak kunjung dapat ia selesaikan mereka lalu merasa tidak
bahagia, Ironisnya lagi, dalam tekanan akibat masalah yang menimpanya itu,
kemudian mereka secara tidak sadar menggugat dirinya sendiri dengan
menanyakan apakah ia tidak layak mendapatkan kebahagiaan? Padahal
kebahagiaan itu bersifat tentatif. Karena sifatnya yang tentatif itu, maka ketika kebahagiaan semakin dicari, maka kita akan semakin sulit mendapatkannya.
Kebahagiaan bukan untuk dicari, tetapi harus diciptakan. Dalam kaitannya dengan kehidupan berumahtangga, ketika kita melihat kekurangan pasangan kita atau harapan yang belum dapat terpenuhi, alangkah baiknya jika kita mengikhlaskannya. Cobalah mencinta tanpa syarat, seperti ibu pada anaknya, hanya memberi tak harap kembali.
Kemudian coba syukuri kelebihan lain yang dimiliki pasangan kita. Kadang ini yang sulit terjadi, kekurangan lebih mudah terlihat dibanding dengan kelebihan. Kalahkan sisi negatif pasangan,
dengan selalu mengingat segala kelebihannya yang membuat kita jatuh
cinta, dan memutuskan berkomitmen sehidup semati dalam pernikahan. Jika
perlu, buatlah daftar tertulis dan simpan, sehingga jika kekecewaan muncul, lihatlah daftar tersebut dan renungkan.
Langkah selanjutnya adalah berusaha dan berjuang sepenuh hati untuk
bertahan dan menganggap semua cobaan dan perselisihan dalam perjalanan
rumah tangga adalah pelajaran hidup.
Sumber : http://www.kolom-pengetahuan.com/2012/02/menjaga-keharmonisan-keluarga-jangan.html
0 Tulis komentar anda
Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^